![]() |
. |
Sijunjung, fajarsumbar.com – Dugaan kasus kekerasan terhadap wartawan kembali mencoreng dunia jurnalistik Indonesia. Empat jurnalis dari media online mengalami tindakan brutal saat menginvestigasi dugaan praktik ilegal mafia BBM subsidi dan tambang emas liar di Tanjung Lolo, Kecamatan Tanjung Gadang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar).
Keempat wartawan yang menjadi korban adalah Suryani (nusantararaya.com), Jenni (Siagakupas.com), Safrizal (Detakfakta.com), dan Hendra Gunawan (Mitrariau.com). Mereka diduga mengalami penyekapan, penganiayaan, perampasan barang-barang pribadi, hingga ancaman pembunuhan saat menjalankan tugas jurnalistik sekelompok orang.
Menurut informasi, para wartawan awalnya datang untuk menggali data terkait dugaan keterlibatan tangki BBM subsidi dan operasi tambang emas ilegal yang dikaitkan dengan seorang pejabat lokal. Namun, investigasi mereka berubah menjadi mimpi buruk saat sekelompok orang menghadang dan menyandera mereka.
Para pelaku diduga tidak hanya merampas peralatan kerja seperti laptop dan telepon genggam, tetapi juga memaksa korban untuk menyerahkan uang dalam jumlah besar sebagai “tebusan”. Ancaman kekerasan semakin nyata ketika mereka diintimidasi dan ancaman akan dijatuhkan ke dalam jurang tambang.
Salah satu korban, Jenni, bahkan hampir menjadi korban pelecehan seksual dalam insiden yang mencerminkan betapa mengerikannya situasi yang mereka hadapi. Para pelaku juga dikabarkan menyampaikan ancaman bahwa laporan ke pihak berwenang tidak akan membuahkan hasil, menandakan keberanian mereka dalam menantang hukum.
Kasus ini memicu kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menyebut kejadian ini sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers dan mendesak aparat kepolisian untuk segera bertindak.
“Kekerasan terhadap wartawan yang tengah menjalankan tugas tidak bisa dibiarkan. Kami mendesak Kapolri dan jajarannya untuk segera menangkap para pelaku, termasuk pihak-pihak yang diduga terlibat dalam jaringan mafia ini,” tegas Wilson Lalengke dalam pernyataan resminya pada 16 Maret 2025.
PPWI juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan bagi para korban guna mencegah adanya intimidasi lanjutan. “Jika tidak ada tindakan tegas, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia jurnalistik di Indonesia,” tambahnya.
Kejadian ini semakin memperjelas betapa rentannya posisi wartawan dalam menjalankan tugas investigasi di lapangan. Keberanian mereka dalam mengungkap praktik ilegal justru dibalas dengan aksi kekerasan yang brutal.
Kini, sorotan publik tertuju pada aparat kepolisian dan pemerintah. Apakah mereka akan segera mengambil langkah konkret dalam mengusut kasus ini dan menindak tegas para pelaku? Ataukah ancaman terhadap kebebasan pers akan terus berlanjut tanpa penyelesaian yang adil? Waktu akan menjadi saksi atas respons yang diberikan oleh pihak berwenang. (Tim)