![]() |
Kiri ke kanan; Tim ADAKSI, Dr. Jamil, Mendiktisaintek Prof.Brian Yulianto, Wakil Ketua ADAKSI Anggun Gunawan, MA dan Prof. Edi Syafri, usai pertemuan dengan Menteri di Jakarta, (foto.doc.es) |
Masalah Tunjangan Kinerja (Tukin) yang diterima oleh pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk dosen yang berstatus ASN, adalah kebijakan yang diberikan pemerintah untuk mendukung tugas dan pekerjaan mereka.
Namun, berbeda dengan ASN di instansi pemerintah lainnya, dosen ASN di bawah Kemendikbudristek hingga kini belum menerima Tukin, yang memicu perjuangan agar mereka bisa memperoleh hak yang sama.
Perjuangan ini diwujudkan dalam berbagai aksi, termasuk demo di perguruan tinggi di bawah Kemendikbudristek, yang dipimpin oleh Aliansi Dosen Kemendikbudristek Seluruh Indonesia (ADAKSI). Sejak pemerintahan Presiden Jokowi, ADAKSI terus berjuang agar dosen ASN Kemendikbudristek dapat menerima Tukin.
Lantas, Tim ADAKSI yang terdiri dari 13 orang diterima untuk berdialog dengan Menteri Kemendikbudristek di Gedung D Kemendikbudristek, Jakarta, pada Selasa, 11 Maret 2025. Pertemuan ini dipimpin oleh Ketua ADAKSI, Dr. Fatimah, Wakil Ketua Anggun Gunawan, M.A., dan penulis yang juga ikut hadir dalam audiensi tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, Dr. Fatimah mengapresiasi pertemuan ini sebagai langkah awal untuk membangun hubungan yang lebih baik antara Kemendikbudristek dan ADAKSI.
Inti permasalahan yang disampaikan adalah tentang ketidakjelasan pembayaran Tukin bagi dosen ASN Kemendikbudristek. ADAKSI menegaskan bahwa pemberian Tukin sangat penting bagi dosen. Karena, tanpa itu mereka merasa tidak dihargai dan terpinggirkan dibandingkan ASN di kementerian lain.
Dosen ASN Kemendikbudristek telah bertahun-tahun tidak menerima Tukin, dan ADAKSI mendesak agar masalah ini segera diselesaikan dan pembayaran Tukin dimulai pada 2025. Tanpa Tukin, dampaknya adalah kenaikan biaya kuliah (UKT). Sebab, perguruan tinggi akan mencari dana tambahan untuk operasional.
Selain itu, ada ketimpangan gaji antara dosen ASN dan tenaga kependidikan (Tendik) yang mendapat Tukin, meskipun mereka memiliki kualifikasi yang lebih tinggi.
ADAKSI juga menyoroti kurangnya transparansi terkait Permendikbud No. 49/2020 yang seharusnya menjadi dasar hukum pembayaran Tukin sejak 2020, namun tidak diterapkan oleh Kemendikbudristek.
Untuk itu, ADAKSI meminta agar pembayaran Tukin cukup berbasis Beban Kinerja Dosen (BKD), tanpa persyaratan tambahan yang membebani. Seperti absensi fingerprint dua kali sehari.
Tukin dianggap sebagai langkah awal untuk meningkatkan kesejahteraan dosen dan martabat profesi mereka, yang akan memotivasi generasi muda untuk menjadi dosen. Jika dosen mendapat Tukin, mereka dapat lebih fokus pada tugas pengajaran tanpa harus memikirkan masalah ekonomi pribadi.
Pada akhirnya, ADAKSI berharap agar pemerintah memasukkan rapelan Tukin sejak 2020 dalam Perpres Tukin 2025 dan mendorong realisasi Tukin for All melalui APBNP 2025 atau APBN 2026.
Menteri Kemendikbudristek, Prof. Brian Yuliarto, mengungkapkan pemahamannya tentang perjuangan dosen dan berkomitmen untuk mempercepat penandatanganan Perpres Tukin Dosen.
Pada sisi lain, bahwa Dana Tukin sebesar Rp2,5 triliun sudah disetujui oleh DPR dan Kemenkeu, dan Menteri sedang berupaya menambah Rp300 miliar lagi. Pembayaran Tukin akan dimulai pada Januari 2025, namun rapelan untuk tahun 2020 masih perlu dibahas.
Menteri juga mengumumkan rencana untuk membuka 1.000 formasi beasiswa S3 bagi dosen di dalam negeri dan memberikan hibah riset khusus bagi dosen pemula.
Kemudian, presensi online akan diterapkan untuk mengukur kinerja dosen berdasarkan BKD, bukan absensi fingerprint. Menteri juga mengundang Wakil ADAKSI untuk bergabung dalam Tim Pengkajian Permendikbud No. 44/2024 yang sedang dibahas.
Acara audiensi ini diakhiri dengan ramah tamah dan diskusi ringan, memberikan secercah harapan bagi dosen ASN Kemendikbudristek, bahwa pembayaran Tukin pada Juli - Agustus 2025 akan menjadi kenyataan.
Dengan harapan ini, semangat kerja dosen diharapkan dapat meningkat, dan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia dapat lebih berkembang. Aamiin. (Penulis; Prof.DR. Edi Syafri, Guru Besar Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh/Anggota KIP).