. |
Oleh: Abdul Jamil Al Rasyid
(Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas)
Randai merupakan seni tradisional khas Minangkabau yang memadukan berbagai elemen seni, seperti tari, drama, musik, lagu, dan silat. Pertunjukan ini dilakukan secara berkelompok dalam formasi melingkar, dengan pemain bergantian menyampaikan cerita melalui nyanyian.
Randai juga mengintegrasikan unsur sastra lisan Minangkabau, seperti pantun, dialog, dan cerita kompleks, menjadikannya sebagai cerminan budaya dan identitas masyarakat Minangkabau.
Silat (silek) menjadi elemen utama dalam randai. Gerakan tarian didasarkan pada langkah-langkah silat, yang tidak hanya merupakan keterampilan fisik tetapi juga filosofi hidup orang Minang. Filosofi ini tercermin dalam konsep "basilek lidah," yaitu kemampuan berbicara dengan bijak dan cermat.
Orang Minang juga dikenal mahir berpantun, dan dalam randai, pantun menjadi media untuk menyampaikan perasaan dan pesan moral. Randai bukan hanya hiburan, tetapi juga alat untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan menjaga warisan budaya.
Setiap nagari memiliki bentuk randai yang berbeda, mencerminkan kreativitas dan identitas masing-masing. Randai melibatkan berbagai elemen, seperti gerakan, dialog, properti, pakaian, tata panggung, dan interaksi langsung dengan penonton. Hal ini menjadikan randai sebagai seni pertunjukan yang menyatukan pemain dan penonton dalam satu pengalaman budaya yang autentik.
Beberapa tokoh Minangkabau memberikan beragam interpretasi tentang randai:
1. Khairul Harun: Randai diibaratkan seperti gerakan ombak di laut.
2. Purwadawita: Randai adalah tarian yang berderet melengkung, berantai, dan memiliki kesinambungan.
3. Umar Kayam: Randai merupakan tradisi bermain, berandai-andai, dan bergurau.
4. Rasyid A.: Randai adalah seni drama dan tari dengan sumber cerita dari kaba.
Sejarah dan Perkembangan Randai
Randai berkembang secara bertahap, bermula dari pertunjukan sederhana dengan gerakan silat melingkar. Pada tahap awal, belum ada nyanyian, pantun, atau karakter cerita. Perkembangan berikutnya melibatkan pantun simarantang, improvisasi musik, dan akhirnya karakter serta cerita dimasukkan dalam pertunjukan.
Awalnya, randai dilakukan di surau sebagai bagian dari pembelajaran agama Islam dan tauhid. Nilai-nilai agama ini menjadi landasan pertunjukan randai. Seiring waktu, randai bertransformasi menjadi seni pertunjukan yang lebih kompleks, terutama sejak tahun 1932, dengan pengaruh seni pertunjukan Barat seperti tonil.
Meskipun modernisasi terjadi, randai tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi dan agama. Dari surau hingga panggung umum, randai menjadi simbol dinamika budaya Minangkabau yang terus berkembang namun tetap berakar kuat pada tradisinya.(*)