Sawahlunto, fajarsumbar.com - Keberagaman yang bermukim di Sawahlunto ini tentunya tidak lepas dari muara kisah masa lampau yang dihiasi oleh pernak-pernik Kolonialisme. Nuansa Eropa disuguhkan oleh kota ini, dan itu terlihat jelas pada tatanan kota dan struktur bangunan.
Kota yang perkasa akibat batu bara, menjadikan kota termaju dan paling modern se-antero pulau Sumatera saat itu. Kemajuan kota ini tentunya menghadirkan keberagaman yang mana awal mulanya berangkat dari orang-orang Nusantara yang menjadi pekerja tambang.
Namun sejak dekade pertama awal abad-21, aktifitas pertambangan di Kota Sawahlunto perlahan meredup. Setelah itu, kota ini bertransformasi menjadi Kota Wisata Tambang Berbudaya. Seluruh elemen masyarakat dan lembaga pemerintahan berupaya menjadikan kota ini sebagai pusat kebudayaan.
Salah satu upaya yang dilakukan ialah, dengan menggagas festival beraromakan Internasional. Sawahlunto International Music Festival (SIMFes), dicanangkan sebagai festival akbar tahunan yang dimulai sejak tahun 2010.
Kehadiran Sawahlunto International Music Festival (SIMFes) tentunya sebagai upaya mengenalkan Sawahlunto ke mata dunia sekaligus menempatkan nama Sawahlunto dalam peta industri musik Nasional. Almarhum Ir.Amran Nur saat menjabat sebagai Wali Kota, berkeinginan menjadikan Sawahlunto sebagai wadah bertemu dan berkumpulnya musisi etnik dunia.
Konsepnya adalah presentasi musik etnik dunia dengan pendekatan re-interpretasi dan world music. SIMFes juga merupakan perpaduan Heritage City yang indah, musik yang bergelora dan kehangatan interaksi antara musisi dan penonton yang membuat ajang musik ini ditunggu oleh masyarakat.
Sawahlunto International Music Festival (SIMFes) mendatangkan musisi mancanegara. Setiap tahunnya selalu ada musisi yang datang mewakili Benua-nya masing-masing. Seperti pada tahun 2015, Hareford Hoppers dari Inggris, Stierwascher dari Austria, Duo Kri dari Jepang, Who’s Pinsky dari Jerman, Steev Kindwald dari Rumania. Lalu pada tahun 2018, Daood Debu dari Amerika Serikat, Kingdom of Daykanyama dari Jepang, Adien Fazmail dan Angela Lopez dari Spanyol, The Bonny Trio dari Irlandia dan Mama dari Senegal.
Setiap tahunnya, musisi yang didatangkan dari manca negara selalu berbeda, dan begitu juga tema yang diusung setiap tahunnya. Misalnya pada tahun 2017, mengusung tema Fullmoon Heritage Wonderland, tahun 2018 mengusung tema Sawahlunto The Energy Of The World’s Culture, dan tahun 2023 mengusung tema Heritage Wonderland.
Pada tahun ini Sawahlunto International Music Festival juga mungusung tema Heritage Wonderland dengan pendekatan pada Music Minangkabau dan Tribut Elly Kasim. Pada tahun ini berfokuskan pada upaya pengarsipan Music Minangkabau dan sang legenda music minang, Elly Kasim. Nama besar Elly Kasim tentunya sudah terdengar hingga ke setiap penjuru negeri. Karya-karyanya digemari oleh masyarakat, khususnya sebelum tahun 2000-an.
Karirnya yang melejit tentunya tidak lepas dengan lirik dan musik yang beraromakan minang. Sepanjang karirnya di industri musik, ia telah merilis 100 album solo. Ada pun singel yang masih populer hingga hari ini; Ayam Den Lapeh, Bareh Solok, Cinto Ka Uda, Babendi Bendi, Ampun Mandeh, Malam Bainai, Mudiak Arau dan masih banyak yang lainnya.
Musik Minangkabau selalu merepresentasikan tentang kehidupan masyarakat minang, itu tergambar dalam lagu Mudiak Arau yang dipopulerkan oleh Elly Kasim bercerita tentang seorang gadis yang menjalin hubungan jarak jauh dengan kekasihnya karena ditinggal merantau.
Elly Kasim muncul pada saat kondisi Sumbar berada pada proses kemunduran sejarah dan budaya pasca-keberadaan PRRI. Di mana, orang Minang takut menunjukkan identitas keminangan mereka ke publik, Elly Kasim muncul dengan suara emas dan lagu hitsnya untuk memberikan semacam semangat yang membangkitkan kembali budaya dan lagu Minang itu sendiri di Indonesia.
Jadi, lagu yang dinyanyikan Elly Kasim ini bisa melepaskan kerinduan perantau Minang yang rindu akan kampung halamannya di Sumbar.
Musik Minangkabau yang begitu populer dari zaman Soeharto, bahkan hingga hari ini pun masih bisa dinikmati dan banyak yang menggemari. Itu membuktikan begitu magisnya musik minang di telinga masyarakat. Kemagisan itulah yang coba diekspresikan dalam festival beraomakan International ini. Ekspresi yang disajikan coba dihembuskan ke tengah atmosfer dunia hingga diterjemahkan dalam ingatan tanpa batas.
Kemagisan lokalitas yang beraromakan International ini akan terus diupayakan berpasangan untuk menjaga dan merawat pikiran yang nantiknya dapat dinikmati dalam satu ruang. Ruang yang berisikan catatan kolektif, visual kolektif, audio kolektif dan pernak-pernik kolektif yang utuh dalam ruang temu, yaitu Museum. (rel/ton)