Buruh Kritik Standar Hidup Layak BPS Rp1,02 Juta Per Bulan -->

Iklan Cawako Sawahlunto

Buruh Kritik Standar Hidup Layak BPS Rp1,02 Juta Per Bulan

Jumat, 29 November 2024

ilustrasi


Jakarta - Reaksi buruh muncul terkait rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang standar hidup layak (SLL) 2024 yang ditetapkan sebesar Rp1,02 juta per bulan.


Meskipun disebut "standar," BPS menegaskan bahwa angka ini bukan menunjukkan kriteria hidup layak atau tidak bagi masyarakat Indonesia. Standar hidup layak hanya merupakan bagian dari pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM).


Angka SLL mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Semakin tinggi angkanya, semakin baik standar hidupnya, menurut BPS.


Namun, Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengkritik penggunaan istilah "standar" dalam survei ini. Presiden ASPIRASI, Mirah Sumirat, khawatir data ini disalahartikan dan disamakan dengan komponen kebutuhan hidup layak (KHL), yang sejatinya menjadi acuan untuk menentukan upah minimum provinsi (UMP).


"Masalahnya, BPS menggunakan istilah 'standar hidup layak', yang membingungkan masyarakat. Seharusnya, ini lebih tepat disebut 'rata-rata pengeluaran'," ujar Mirah dalam wawancaranya dengan CNNIndonesia.com, Kamis (28/11).


Mirah juga menekankan pentingnya kejelasan tentang siapa yang menjadi responden dalam survei tersebut, apakah keluarga atau individu lajang, sesuai dengan data yang dikumpulkan.

Di balik perdebatan istilah, Mirah menilai angka Rp1,02 juta sebagai standar hidup layak menunjukkan rendahnya upah yang diterima buruh Indonesia. Ia memberi contoh buruh yang hanya menerima gaji Rp3 juta per bulan, namun harus menanggung biaya hidup istri dan dua anak.


"Dengan upah Rp3 juta, mereka harus menghemat. Pendapatan mereka kecil, tapi kebutuhan hidup tetap tinggi, seperti listrik dan kontrakan yang tak bisa dikurangi. Akhirnya, mereka mengurangi konsumsi makanan, yang berdampak pada ketidaklayakan hidup," tambahnya.


Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, juga mempertanyakan parameter yang digunakan BPS untuk menentukan angka SLL tersebut. Ia menilai angka Rp1,02 juta tidak mencerminkan hidup layak bagi pekerja.


BPS sendiri menjelaskan bahwa dimensi SLL dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran yang diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang telah disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli.


"Bagaimana bisa dengan Rp1 juta per bulan disebut hidup layak? Angka tersebut tidak mewakili kehidupan layak pekerja sama sekali," tegas Ristadi.


Ia juga memberi contoh biaya kontrak rumah yang paling murah di kisaran Rp500 ribu per bulan, yang membuat angka Rp1,02 juta per bulan terasa tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan dasar pekerja.


"Kira-kira, jika pekerja hanya memiliki Rp1 juta per bulan, bagaimana pola hidup mereka? Ini tidak masuk akal," ujarnya.(des*)