Bob Azam: Kenaikan PPN 12% Dapat Membebani Kelas Menengah -->

Iklan Cawako Sawahlunto

Bob Azam: Kenaikan PPN 12% Dapat Membebani Kelas Menengah

Kamis, 21 November 2024

Proses pengecatan bodi Toyota Kijang Innova 

Jakarta - Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 diperkirakan akan berdampak lebih luas daripada sekadar peningkatan tarif 1 persen.**


Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, menjelaskan bahwa kebijakan ini memiliki efek berganda yang bisa menekan berbagai lapisan ekonomi, terutama kelas menengah. Menurutnya, dampak kenaikan PPN tidak hanya terlihat dari kenaikan harga langsung, tetapi juga akan mempengaruhi biaya produksi di berbagai sektor industri. Hal ini kemudian berimbas pada rantai pasok yang akhirnya sampai ke konsumen.


Akibatnya, harga barang dan jasa diperkirakan bisa naik lebih dari 1 persen, tergantung pada kompleksitas industri yang terpengaruh kebijakan tersebut. "PPN itu efeknya berlipat ganda. Kenaikan 1 persen belum tentu hanya berdampak pada biaya 1 persen. Bisa lebih, tergantung kedalaman industri," ujar Bob dalam wawancara dengan Kompas.com pada Rabu (20/11/2024). 


Kenaikan PPN ini menjadi masalah serius bagi kelas menengah yang selama ini menjadi penggerak utama konsumsi domestik. Bob menekankan bahwa kelompok ini sudah tertekan pasca-pandemi Covid-19, dengan banyak yang jatuh ke kelas menengah bawah atau bahkan miskin. Kondisi ini semakin parah dengan fokus bantuan sosial pemerintah yang lebih banyak menyasar kelompok miskin. "Permintaan sudah menurun, sementara biaya malah naik. Kelas menengah akhirnya menjadi tumpuan beban pemerintah, termasuk dalam kebijakan PPN ini," tambahnya.


Penurunan daya beli masyarakat akan berdampak langsung pada sektor konsumsi, yang merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi. Bob mencatat bahwa sektor otomotif mengalami penurunan hingga 15 persen pada 2024 akibat melemahnya permintaan. Kondisi ini diperburuk dengan kenaikan biaya produksi akibat PPN yang lebih tinggi.


"Kenaikan ini akan membuat pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8 persen, seperti yang dicanangkan Presiden, semakin sulit," ungkap Bob. Ia pun menyarankan pemerintah untuk menunda kenaikan PPN, mengingat situasi saat ini tidak mendukung kebijakan yang bersifat kontraktif.


Bob juga mengingatkan bahwa kenaikan tarif pajak belum tentu meningkatkan pendapatan negara, terutama jika ekonomi mengalami kontraksi. "Jika tarif pajak naik, pendapatan negara belum tentu ikut naik. Jika ekonominya sedang menyusut, itu jauh lebih berbahaya," tegasnya. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung investasi dan pertumbuhan, serta menyarankan relaksasi fiskal untuk menjaga stabilitas pasar ketimbang kebijakan yang berisiko memperburuk kontraksi ekonomi. (des*)