Ilustrasi - Foto: ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya |
Jakarta - Pemerintah berencana memperketat peraturan mengenai tembakau, namun hal ini dapat berdampak besar pada industri tembakau.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, menyatakan bahwa lebih dari jutaan orang bergantung pada sektor tembakau, baik secara langsung maupun tidak. Ia mengingatkan bahwa kontribusi besar industri ini dapat tergerus, dengan potensi kerugian ekonomi sebesar Rp308 triliun. Dampak ini juga berisiko mengganggu berbagai sektor terkait lainnya.
"Rencana ini bertentangan dengan Asta Cita Presiden Prabowo yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% dan peningkatan rasio pajak. Jika kebijakan ini disahkan, lebih dari 2,2 juta orang akan kehilangan lapangan pekerjaan. Kami berharap pemerintahan yang baru akan lebih memperhatikan sektor tembakau dan meninjau ulang rencana ini," ujar Budhyman dalam keterangannya, Rabu (27/11/2024).
Budhyman juga menyoroti penurunan target cukai rokok pada tahun sebelumnya yang disebabkan oleh tekanan regulasi pemerintah terhadap industri tembakau. Menurutnya, kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek akan semakin membebani industri, bukan hanya bagi produsen, tetapi juga bagi konsumen yang kehilangan hak untuk mendapatkan informasi terkait produk yang dipasarkan.
Senada dengan AMTI, pedagang kelontong juga menolak tegas rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes). Mereka menganggap aturan tersebut tidak adil bagi pedagang kelontong, yang selama ini mengandalkan pendapatan dari penjualan produk tembakau. Jika aturan ini diterapkan, akan berdampak pada penurunan omzet yang signifikan.
Ketua Umum Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI), Junaidi, menjelaskan bahwa penolakan terhadap kebijakan ini sudah disampaikan kepada Kementerian Kesehatan sejak beberapa bulan lalu. Ia mengungkapkan bahwa hampir 50% dari penjualan mereka berasal dari rokok, dan penerapan aturan tersebut akan mempersulit praktik penjualan di lapangan.
"Bagaimana cara kami menjual varian rokok yang berbeda? Kami berharap ada kebijakan bijak dari Kemenkes," ungkapnya.
Junaidi menambahkan bahwa mereka bersama pedagang lain menolak aturan ini, termasuk PP Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan turunannya, yang saat ini sedang dirumuskan dalam Rancangan Permenkes. Menurutnya, meskipun rokok merupakan produk legal, pembatasan terhadapnya justru semakin merugikan, sementara rokok ilegal semakin mudah ditemukan di pasaran.
"Produk rokok ini legal, ada keputusan di Mahkamah Konstitusi yang mengakui statusnya. Seharusnya, tidak ada pembatasan yang menghambat penjualannya. Jika penjualan rokok turun, penjualan produk lain yang bergantung padanya juga pasti terpengaruh," jelas Junaidi.(BY)