Penataan Honorer di Indonesia, Seleksi PPPK 2024 Fokus untuk Non-ASN -->

Iklan Cawako Sawahlunto

Penataan Honorer di Indonesia, Seleksi PPPK 2024 Fokus untuk Non-ASN

Kamis, 03 Oktober 2024
ilustrasi


Jakarta - Kondisi tenaga honorer di Indonesia tampaknya masih jauh dari penyelesaian yang jelas. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) saat ini sedang berupaya menata tenaga honorer di Indonesia.


Menpan RB, Abdullah Azwar Anas, mengumumkan bahwa pendaftaran Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mulai dibuka pada 1 Oktober 2024, dengan kuota 100 persen diperuntukkan bagi tenaga honorer.


"Seleksi PPPK 2024 kita fokuskan untuk penataan pegawai non-ASN, sehingga semua formasi PPPK akan dialokasikan untuk pegawai non-ASN di instansi pemerintah," ujar Anas dalam pernyataan resminya, Rabu (2/10).


Anas menjelaskan bahwa pada 2023 terdapat 2,3 juta tenaga honorer di Indonesia, dan ia berharap semuanya dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui status PPPK tahun ini.


Namun, Anas juga menyebut bahwa pemerintah daerah (pemda) tidak memanfaatkan penuh kuota 1,7 juta formasi PPPK yang dibuka pada 2024. Hanya 1,2 juta formasi yang diambil, dengan beberapa pemda tidak mengusulkan formasi karena keterbatasan anggaran.


Menpan RB Anas juga menyatakan kekhawatiran lain, yakni kemungkinan pengangkatan tenaga honorer tambahan oleh pejabat daerah setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.


"Selesai Pilkada 2024, bisa jadi ada penambahan tenaga honorer baru oleh pejabat yang baru terpilih. Oleh karena itu, penting untuk menjaga konsistensi dalam penataan tenaga honorer, dan ini kita kunci dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen ASN," ujar Anas dalam SAKIP Award 2024.


Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kekhawatiran Anas beralasan dan mendesak pemerintah untuk segera menemukan solusi yang jelas.


Menurut Achmad, pemerintah perlu membatasi pengangkatan tenaga honorer oleh pejabat daerah berdasarkan kebutuhan riil, bukan kepentingan politik. Ia juga menyoroti bahwa banyak pemda memiliki belanja pegawai yang telah melebihi 30 persen dari total anggaran, bahkan di beberapa daerah mencapai 40-50 persen.


Achmad menekankan pentingnya menjaga anggaran pemda agar tidak terkuras untuk gaji pegawai, termasuk tenaga honorer, karena akan berdampak pada sektor-sektor pembangunan seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.


Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal, menambahkan bahwa fenomena tenaga honorer di daerah tidak bisa digeneralisasi oleh pemerintah pusat. Setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga pemerintah pusat perlu mempertimbangkan hal ini secara cermat.


Faisal juga menyarankan agar pengangkatan honorer untuk pelayanan dasar di daerah tidak dikurangi atau dibatasi, karena beberapa daerah masih kesulitan memenuhi kebutuhan sektor seperti pendidikan dan kesehatan dengan keterbatasan ASN. (des*)