Demokrasi di Tepi Jurang, Kotak Kosong dan Ancaman bagi Oposisi -->

Iklan Cawako Sawahlunto

Demokrasi di Tepi Jurang, Kotak Kosong dan Ancaman bagi Oposisi

Senin, 14 Oktober 2024
.


Oleh: Auliyani Nadila

(Mahasiswa Unand Semester V Jurusan Ilmu Politik)


Indonesia mengklaim sebagai negara demokrasi. Namun, saat ini, kita perlu mempertanyakan apakah kondisi yang ada benar-benar mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Pemilihan umum menjadi salah satu instrumen utama dalam politik, dengan partai politik sebagai aktor sentral.


Dalam konteks pemilihan umum, terbentuknya koalisi antar partai bukanlah hal yang mengejutkan. Koalisi ini bisa terbentuk karena berbagai alasan, seperti kesamaan tujuan, visi yang sejalan, atau kepentingan yang serupa. Namun, di balik itu, sering kali koalisi juga dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan lebih besar.


Koalisi tidak jarang dibentuk dengan tujuan untuk mendominasi dan mengambil keuntungan politik yang lebih besar. Taktik ini bisa mencakup strategi untuk melemahkan atau bahkan mensabotase oposisi. Keberadaan oposisi yang kuat adalah elemen penting dalam menjaga kesehatan demokrasi.


Setelah pemilihan umum pada 14 Februari 2024, yang meliputi pemilihan presiden, wakil presiden, DPD, DPR, dan DPRD, Indonesia akan melanjutkan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 27 November 2024. Pilkada ini mencakup pemilihan gubernur, bupati, dan walikota di berbagai daerah.


Fenomena yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah terkait koalisi partai, kemunculan kotak kosong, dan masa depan oposisi. Dalam Pilgub DKI Jakarta, misalnya, terlihat ketidakseimbangan yang mencolok dalam koalisi. Ada tiga pasangan calon yang bersaing dalam kontestasi ini.


Pasangan pertama, Ridwan Kamil dan Suswono, didukung oleh 15 partai. Ini menunjukkan dukungan yang sangat besar dari berbagai kalangan politik. Pasangan kedua, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana, adalah calon independen yang tampil tanpa dukungan partai besar.


Pasangan ketiga, Pramono Anung dan Rano Karno, diusung oleh PDI-P dan Partai Hanura. Dalam persaingan ini, pasangan calon pertama mendominasi dengan persentase suara lebih dari 80%. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat.


Salah satu pertanyaan penting adalah mengenai nasib oposisi dalam konteks dominasi tersebut. Ada kekhawatiran bahwa kondisi ini dapat mengarah pada praktik otoriter dan sabotase terhadap pihak-pihak yang tidak sejalan. Kekhawatiran ini semakin mengemuka dalam situasi politik saat ini.


Selain itu, fenomena kotak kosong juga menjadi sorotan dalam Pilkada kali ini. Beberapa daerah hanya memiliki satu calon yang diusung, yang mengakibatkan KPU harus memperpanjang pendaftaran calon. Hal ini terjadi di 43 daerah karena banyaknya kotak kosong.


Kondisi ini memunculkan rasa khawatir di kalangan masyarakat akan terabaikannya kepentingan mereka. Ketika tidak ada oposisi yang cukup kuat, masyarakat mulai merasa khawatir akan potensi munculnya otoritarianisme. Mereka khawatir bahwa suara mereka tidak akan didengar.


Di dalam kerangka demokrasi, selalu terdapat bias yang dapat merusak sistem. Sebagai masyarakat, kita perlu berani menyuarakan isu-isu ini dan mengadvokasi kepentingan kita. Kebijakan yang diambil oleh aktor politik memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan kita.


Oleh karena itu, penting untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dengan demikian, mereka bisa lebih peka terhadap isu-isu yang ada dan lebih aktif dalam proses politik. Selain itu, kita juga perlu memperkuat peran masyarakat sipil.


Masyarakat sipil harus bersinergi untuk meningkatkan kontrol sosial dan transparansi pemerintahan. Dengan kolaborasi yang kuat, kita dapat memastikan bahwa demokrasi tetap terjaga dan suara rakyat tetap didengar.(*)