Pemerintah Buka Ekspor Pasir Laut, Polemik Muncul di Masyarakat -->

Iklan Cawako Sawahlunto

Pemerintah Buka Ekspor Pasir Laut, Polemik Muncul di Masyarakat

Sabtu, 21 September 2024

Aktivitas pengerukan dan penambangan yang punya potensi dampak membahayakan buat lingkungan. 


Jakarta - Pemerintah kembali membuka ekspor pasir laut, sebuah keputusan yang langsung menimbulkan polemik di masyarakat, di mana banyak yang menolak kebijakan ini.


Pembukaan kembali ekspor tersebut diatur melalui Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.


Larangan ekspor pasir laut telah ada selama lebih dari 20 tahun sejak masa Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2002. Namun, kebijakan ini diaktifkan kembali di akhir masa kepresidenan Joko Widodo.


Dalam kebijakan baru ini, Jokowi memberikan kesempatan kepada beberapa pihak untuk mengekstrak pasir laut guna mengendalikan hasil sedimentasi. Jokowi menyatakan bahwa yang diekspor bukanlah pasir laut, melainkan hasil sedimentasi yang mengganggu jalur pelayaran kapal.


"Sekali lagi, ini bukan pasir laut. Yang dibuka adalah sedimen yang mengganggu jalur kapal. Jika diterjemahkan sebagai pasir, itu berbeda," ungkap Jokowi di Menara Dasareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).


Menanggapi kebijakan ini, banyak pihak, termasuk nelayan, pemerhati lingkungan, LSM, mantan menteri KKP Susi Pudjiastuti, dan anggota DPR, mengajukan keberatan.


Susi melalui akun X (Twitter) pada Kamis (19/9) mengatakan, jika pemerintah ingin mengambil pasir atau sedimen, sebaiknya digunakan untuk memperbaiki wilayah Pantura Jawa yang terkena abrasi, bukan untuk diekspor.


"Bukan diekspor! Semoga wakil rakyat memahami hal ini," tegasnya.


**Dampak Berbahaya dari Pengerukan Pasir Laut**

Pembukaan ekspor ini berkaitan dengan aktivitas pengerukan pasir laut yang berpotensi menyebabkan berbagai masalah, mulai dari abrasi hingga kerusakan ekosistem terumbu karang dan kehidupan laut.


Pakar lingkungan, Erdi Suroso dari Universitas Lampung, menjelaskan dampak negatif penambangan pasir laut, termasuk peningkatan abrasi dan erosi pantai.


"Dampak negatif dari penambangan pasir laut secara ilegal dapat merusak ekosistem laut dalam jangka panjang dan memerlukan waktu untuk pulih," jelas Erdi.


Ia juga mencatat bahwa aktivitas ini dapat menurunkan kualitas lingkungan laut, meningkatkan polusi, dan merusak daerah pemijahan ikan, serta menambah turbulensi yang meningkatkan kandungan padatan tersuspensi di dasar laut.


Penambangan pasir laut juga dapat memperparah risiko banjir rob di daerah pesisir dan merusak ekosistem terumbu karang. Selain itu, dasar laut yang dikeruk akan membuat gelombang menjadi lebih tinggi saat menerjang pesisir.


Dari sisi sosial, Erdi mengingatkan bahwa penambangan pasir laut bisa memicu konflik antara komunitas lingkungan dan penambang.


Laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) menyebutkan bahwa antara 4 hingga 8 miliar ton pasir dan sedimen diambil setiap tahun dari lingkungan laut dan pantai.


Dalam laporan terbaru, UNEP menyerukan perlunya pengawasan yang lebih baik terhadap ekstraksi pasir dan menghentikan penambangan pasir di pantai untuk melindungi lingkungan laut.


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama masyarakat pesisir menolak pembukaan ekspor pasir laut, berpendapat bahwa kebijakan ini tidak memberikan manfaat bagi mereka.


Walhi menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan kemunduran dalam pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia dalam dua dekade terakhir dan dapat berpotensi menjadi "bom waktu" yang merugikan masyarakat pesisir, terutama nelayan.(des)