. |
Nama : Iin Octriana
NIM : 210563210327
Prodi : Administrasi Publik
Dosen : Diga Putri Okafiane, S.Ap, M.Ap
A. Reformasi Birokrasi di Indonesia
Di Indonesia, sebelum adanya proses reformasi terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan kinerja birokrasi, seperti terdapat kelambanan dalam pelayanan publik, adanya masalah suap dalam pelayanan izin, proses administrasi yang berbelit - belit, struktur organisasi yang gemuk yang cenderung tidak efisien, bahkan boros dalam pengelolaan anggaran. Semua permasalahan itu disebut sebagai patologi (penyakit) birokrasi. Istilah patologi birokrasi pertama diperkenalkan oleh Caiden dengan istilah bureaupathologies.
Dalam kajian Ilmu Administrasi Publik, untuk memahami berbagai penyakit yang melekat dalam suatu birokrasi, sehingga menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi. Bahkan, para ilmuan Administrasi Publik sudah sejak lama menggunakan istilah patologi birokrasi untuk menjelaskan berbagai bentuk penyakit birokrasi, seperti Gerald E. Caiden pada Tahun 1991, Bozeman pada Tahun 2000 dari Amerika Serikat dan Sondang P. Siagian pada Tahun 1994 dari Indonesia (Dwiyanto, 2011).
Patologi birokrasi di Indonesia, nampaknya sudah termasuk dalam kategori sangat parah, karena telah menjankiti semua level dalam organisasi pemerintahan ( Eksekutif, Legislative dan Yudikatif ), baik di tingkat pusat, mapun di tingkat daerah, implikasinya adalah kinerja birokrasi dalam pelayanan public belum memberikan kepuasan (Satisfaction) masyarakat.
Hasil survey Lembaga Transfaransi Internasional Tahun 2017 menempatkan Indonesia pada urutan ke 129 dari 188 negara yang disurvei. Dengan kondisi birokrasi yang demikian itu, maka perlu dilakukan reformasi yang bersifat holistik yang meliputi semua unsur Organisasi Publik seperti hukum, struktur, prosedur, kebijakan, dan budaya organisasi (Caiden, 1991).
Di Indonesia perubahan yang terjadi dalam birokrasi sangat lambat, jika dibandingkan dengan organisasi bisnis. Dari semua unsure dalam birokrasi yang paling sulit berubah adalah aspek SDM-nya, karena mindset yang sudah terbentuk sekian lama, sehingga sudah sulit untuk menerima perubahan.
Reformasi Birokrasi yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak Tahun 1998 yang lalu dengan lahirnya berbagai Undang – undang seperti UU Nomor 22 Tahun 1999 (telah 4 kali dilakukan perubahan, sekarang UU No 23 Tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah, Undang - undang No 73 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Undang – undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Semua Undang – undang tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja birokrasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat antara lain dengan pelayanan publik yang berkualitas (Haning, 2015).
Untuk itu, pendekatan Reformasi Birokrasi yang perlu dilakukan untuk memperbaiki perilaku dan kinerja pelayanan Birokrat di Indonesia adalah pendekatan yang bersifat Holistik (Holistic Approach), yaitu Reformasi yang mencakup semua unsur Birokrasi yaitu, unsur pengetahuan, keterampilan, mindset SDM aparatur, struktur birokrasi, budaya birokrasi, sarana dan prasarana birokrasi.
Hal ini sejalan dengan road map reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015.
Dalam Permenpan dan RB tersebut ditetapkan 3 sasaran reformasi, yaitu: (1) Birokrasi yang bersih dan Akuntabel, (2) Birokrasi yang efektif dan efisien, dan (3) Birokrasi yang memiliki pelayanan public berkualitas.
Implementasi dari Permenpan dan RB No. 11 Tahun 2015 seperti di uraiakan dalam matriks 1 di atas sebagai penjabaran dari Road Map Reformasi Birokrasi di Indonesia yang berkaitan dengan pelayanan public pada umumnya belum member dampak positif yang signifikan terhadap perbaikan perilaku birokrat dan kualitas pelayanan publik.
Dari segi perilaku birokrat terdapat kecenderungan makin meningkat perilaku yang menyimpang antara lain terjadinya penyalah gunaan wewenang (abuse of power), seperti kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam pelayanan perizinan.
Dalam hal pelayanan public meskipun ada perubahan kearah yang lebih baik dengan penerapan teknologi informasi (IT) dalam pelayanan publik, namun masih terdapat sejumlah keluhan pelanggan seperti pelayanan lambat, berbelit - belit, mahal dan tidak ada kepastian waktu penyelesaian, tidak rama (Dwiyanto, 2011).
Reformasi birokrasi yang dilakukan diberbagai Negara pada umumnya dilakukan karena berbagai permasalahan yang bersifat kompleks dalam birokrasi, yang menyebabkan disfungsi birokrasi dalam penyelenggaraan tugas.
Gagasan munculnya reformasi birokrasi secara garis besar bersumber dari 2 kelompok. Kelompok pertama dari dalam birokrasi itu sendiri yang ingin menciptakan suatu perubahan kearah yang lebih baik. Kelompok kedua, dari unsure masyarakat di luar birokrasi yang mengharapkan terciptanya suatu birokrasi yang bersih, transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Reformasi birokrasi yang dilakukan di berbagai Negara seperti di Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton dikenal dengan istilah reinventing government yang dipopulerkan oleh Osborne dan Gaebler (1992), yang intinya mentransformasikan nilai – nilai kewirausahaan kedalam pengelolaan sector public.
Di Eropa yang diperkenalkan oleh Pollitt dan Bouckaert dengan isitilah Neo-Weberian State (NWS) yang intinya adalah penguatan peran Negara dalam pelayanan birokrasi dengan prinsip mengutamakan hubungan warga Negara dan negara (citizenstate) untuk memenuhi hak – hak dasar warga. Demikian pula reformasi yang dilaksanakan di Negara persemakmuran Afrika dengan focus pada penciptaan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel.
Di Indonesia reformasi birokrasi yang dilakukan sejak Tahun 1998 dengan lahirnya berbagai peraturan perundang – undangan untuk memperbaiki kinerja. birokrasi dalam pelayanan public. Operasionalisasi perundang – undangan tersebut dengan Permenpan dan RB No. 11 Tahun 2015 yang dikenal dengan istilah road map reformasi birokrasi Tahun 2015 - 2019.
Namun impelemntasi berbagai peraturan tersebut hingga saat ini belum berhasil memperbaiki kinerja dan kualitas pelayanan public, masih banyak praktek KKN dalam pemberian pelayanan.
B. Tujuan utama dari Reformasi Birokrasi di Indonesia adalah:
1. Meningkatkan Efisiensi dan Efektivitas : Memastikan bahwa pelayanan public berjalan dengan cepat dan tepat sasaran.
2. Transparansi dan Akuntabilitas : Meningkatkan keterbukaan dalam proses pemerintahan dan memastikan pejabat public bertanggungjawab atas tindakan mereka.
3. Mengurangi Korupsi : Membangun sistem yang mencegah dan menghukum tindakan korupsi di semua tingkat pemerintahan.
4. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik : Memberikan pelayanan yang berkualitas dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
C. Perkembangan dan Implementasi
Sejak era reformasi, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai tujuan – tujuan tersebut. Beberapa perkembangan penting dalam Reformasi Birokrasi di Indonesia meliputi:
1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah : Melalui undang – undang otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola urusan mereka sendiri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan relevansi pelayanan public sesuai kebutuhan lokal.
2. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : KPK dibentuk pada Tahun 2002 sebagai lembaga independen yang bertugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi.
3. Penerapan E-Government : Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung proses pemerintahan, termasuk system pelayanan publik online dan transparansi data pemerintahan.
4. Reformasi Struktur dan Sistem : Penataan ulang struktur organisasi pemerintahan dan penerapan system meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
D. Tantangan dan Hambatan
Meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai, Reformasi Birokrasi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
1. Resistensi Perubahan : Sebagian pejabat dan birokrat masih menolak perubahan yang mengancam kenyamanan dan kepentingan mereka.
2. Korupsi Sistemik : Korupsi masih menjadi masalah besar yang menghambat Reformasi Birokrasi.
3. Keterbatasan Kapasitas dan Sumber Daya : Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dan terbatasnya anggaran menjadi hambatan dalam implementasi program reformasi.
Kesimpulan
Reformasi Birokrasi di Indonesia merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, berbagai upaya telah menunjukkan hasil yang positif dalam meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas pemerintahan. Dukungan politik yang kuat, partisipasi masyarakat, dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan Reformasi Birokrasi. Dengan terus melakukan perbaikan dan inovasi, diharapkan birokrasi di Indonesia dapat menjadi lebih responsive dan berorientasi pada pelayanan publik yang lebih baik.
Sumber:
Anonim.(2016). Area Perubahan Reformasi Birokrasi 2015-2019. http://pemerintah.net/area-perubahan-reformasi-birokrasi-2015-2019/. Diaksespada 20 Maret 2018.
Commonweath Secretariat (2016) Key Principles of Public Sector Reforms : Case Studies and Frameworks, The Coommonweath Secretariat, London, UK.
Dwiyanto, Agus (2011) Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dwiyanto, Agus, et al. (2002)
Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Girindrawardana, D. (2002) Public Services Reform in Indonesia. Ombudsman Indonesia, Jakarta. (***)