Skandal impor beras terungkap |
Jakarta - Skandal impor beras menyulitkan pelaksanaan opsi Bapanas untuk menghentikan pemborosan pangan. Hal ini semakin kompleks dengan terungkapnya skandal denda impor beras sebesar Rp294,5 miliar.
Ekonom dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Akhmadi, mengkritik pernyataan Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy, yang mendorong masyarakat untuk menghemat pangan sebagai upaya mengurangi impor beras. Pernyataan tersebut muncul sebagai tanggapan terhadap data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa 30% dari total pangan terbuang.
“Jika opsi tersebut benar-benar diterapkan, hal itu memprihatinkan. Solusinya adalah memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat agar mereka tidak boros dalam konsumsi pangan,” kata Akhmadi pada Selasa (30/7/2024).
Menurutnya, Bapanas, di bawah pimpinan Arief Prasetyo Adi, dapat mengurangi ketergantungan pada impor beras dengan cara memperkenalkan pangan alternatif kepada masyarakat, seperti olahan jagung atau sagu.
“Edukasi dan pengembangan pangan alternatif harus dilakukan secara masif. Mindset ini harus dimulai dari pengambil kebijakan pemerintah sebelum menyasar masyarakat,” ungkap Akhmadi.
Akhmadi juga mengakui bahwa selama masyarakat masih sangat bergantung pada beras dan pangan alternatif belum menarik, upaya untuk menekan impor beras akan mengalami kendala.
“Ketergantungan masyarakat terhadap beras sangat dominan, dan selama pangan alternatif belum menjadi pilihan menarik, menekan impor beras akan tetap sulit dilakukan,” tandasnya.
Sebelumnya, Bapanas mengusulkan solusi untuk mengurangi impor beras dengan menggalakkan program penghematan pangan. Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy, mengatakan program ini diluncurkan karena tingginya angka pemborosan pangan, dengan data BPS menunjukkan 30% pangan terbuang.
Sarwo Edhy menekankan pentingnya penghematan pangan agar pemerintah tidak perlu mengimpor beras. “Jika kita bisa menghemat dan menghentikan pemborosan pangan, insya Allah kita tidak perlu impor,” ujarnya.
Namun, opsi Bapanas ini tampak tidak konsisten dengan temuan dokumen sementara Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri. Dokumen tersebut menunjukkan adanya masalah dengan kelengkapan dokumen impor, yang menyebabkan biaya demurrage atau denda beras impor Bapanas-Bulog mencapai Rp294,5 miliar di beberapa wilayah, termasuk Sumut sebesar Rp22 miliar, DKI Jakarta Rp94 miliar, dan Jawa Timur Rp177 miliar.
Studi Demokrasi Rakyat (SDR) telah melaporkan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, dan Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI terkait dugaan mark-up impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun serta kerugian negara akibat demurrage impor beras senilai Rp294,5 miliar.(BY)