![]() |
. |
Oleh: Aisah Sulia Fitri
(Mahasiswa Unand, Jurusan Sastra Minangkabau)
Pernikahan adat Minangkabau merupakan salah satu tradisi pernikahan yang paling unik di Indonesia. Tradisi ini masih dijalankan oleh masyarakat Minangkabau hingga saat ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai wujud cinta kasih antar sesama manusia. Pernikahan adat Minangkabau bukan hanya sekadar pernikahan biasa, tetapi juga melibatkan seluruh keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari kesepakatan dan persatuan kedua belah pihak.
Dalam adat budaya Minangkabau, pernikahan merupakan peristiwa yang sangat penting dan memiliki makna yang mendalam dalam membentuk keluarga baru dan melanjutkan keturunan. Bagi lelaki Minang, pernikahan juga merupakan proses memasuki lingkungan baru, yaitu keluarga dari pihak istri. Sementara itu, bagi keluarga dari pihak istri, pernikahan adalah penambahan anggota baru dalam komunitas Rumah Gadang mereka.
Pernikahan adat Minangkabau didasarkan pada garis keturunan matrilineal, di mana perempuan mendapatkan kedudukan yang utama dan mulia. Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, perempuan sangat dihormati dan dimuliakan, seperti metafora "limpaleh rumah nan gadang" yang melambangkan perempuan sebagai pemegang kunci harta pusaka dan sumarak anjuang nan tinggi, yang berarti permata dari rumah gadang dan pondasi yang menguatkan rumah gadang yang disebut Bundo Kanduang.
Setiap wilayah di Minangkabau memiliki upacara pernikahan yang berbeda-beda. Namun, terdapat beberapa tahapan yang umum dilakukan dalam prosesi pernikahan adat Minangkabau yang memukau. Prosesi dimulai dengan adat meminang atau yang disebut "marisik". Merisik adalah proses di mana keluarga pria mengunjungi keluarga wanita untuk memperkenalkan diri dan meminta izin untuk meminang. Apabila keluarga wanita memberikan izin, maka pihak keluarga pria akan menyerahkan cincin sebagai tanda keseriusan.
Tahapan selanjutnya adalah "manimang" dan "batimbang tando", di mana kedua keluarga akan saling bertukar simbol sebagai pengikat perjanjian yang tidak boleh diputuskan secara sepihak. Setelah itu, dilakukan prosesi "mahanta siriah", di mana mempelai meminta doa restu dan izin kepada keluarga besar. Calon pengantin perempuan akan diwakili oleh kerabat yang sudah menikah untuk mengantar sirih, sementara pihak calon pengantin pria membawa delapan berisi daun nipah dan tembakau.
"Malam bainai" adalah rangkaian prosesi pernikahan adat Minangkabau yang dilaksanakan tepat sebelum akad nikah, pada malam hari. Ini merupakan pesta lajang versi adat Minang yang menjadi malam terakhir bagi calon pengantin perempuan (anak daro) sebagai seorang gadis. Selama malam tersebut, anak daro mengenakan busana tradisional tokah beserta suntiang rendah di kepala.
Ia melewati prosesi mandi-mandi (siraman) dengan percikan air berisi daun sitawa sidingin yang dilakukan oleh sesepuh dan kedua orang tua. Setelah mandi-mandi, anak daro akan melewati kain jajakan kuning sambil berjalan menuju pelaminan untuk melakukan ritual pembubuhan pacar merah (daun inai) pada kukunya. Prosesi ini dilakukan oleh saudara perempuan pengantin sambil memberikan nasihat pernikahan.
Terakhir, "manjapuik marapulai" adalah saat calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin perempuan. Upacara ini juga ditandai dengan pemberian gelar pusaka kepada calon pengantin pria. Setelah dilangsungkan akad nikah, dilakukan prosesi "mamulangkan tando", "malewakan gala Marapulai", "balantuang kaniang" atau mengadu kening, "mangaruak nasi kuning", dan "Manikam sajak".
Meskipun pernikahan adat Minangkabau telah mengalami modifikasi akibat pengaruh dunia luar, tradisi ini masih berlangsung hingga hari ini. Upacara pernikahan ini tetap memikat dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang kuat. Melalui prosesi pernikahan adat Minangkabau, warisan leluhur terus dijaga dan keindahan budaya Minangkabau terpancar dalam setiap langkah pernikahan yang dijalani oleh pasangan pengantin.(*)